Minggu, 30 Maret 2008

Budaya di Indonesia

BUDAYA LEMBUT INDONESIA: BELAJAR DARI BENAZIR BHUTTO?29 12 2007
Budaya Lembut Indonesia: Belajar dari Benazir Bhutto atau dari budaya kita sendiri?
We need learn more about our “sweet culture”, that called Indonesian indigenous culture, not “hard culture” from another culture…
Benazir Bhutto tragedy… clearly down from Pakistan culture, its different, it’s not our culture…so… dont worry Mr. President…
Apakah Indonesia perlu belajar dari fenomena kekerasan politik Pakistan? Pertanyaan yang menggelitik juga. Seperti diketahui bersama, 27 Desember 2007 terjadi tragedi politik berdarah di Pakistan. Tragedi terbunuhnya Benazir Bhutto pada saat proses demokrasi di negara tersebut sedang dilangsungkan. Jelas sekali terlihat dampak demokrasi dalam bentuknya yang paling vulgar, yaitu Kekerasan.
Tak ayal, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah melakukan “ritual formalitas politik luar negerinya” berupa ucapan bela sungkawa, seperti dirilis dalam berita singkat di Metro TV tanggal 28 Desember 2007, mengeluarkan statement kekhawatiran. Statement terutama ditujukan kepada kepolisian dan intelejen agar belajar mengenai tragedi pembunuhan Benazir Bhutto.
Pertanyaannya, apakah Indonesia akan sampai ke sana? Apakah demokrasi Indonesia memang memiliki tradisi “kekerasan”?
Menilik perkembangan politik kekuasaan di Indonesia, hal tersebut sepertinya belum pernah terjadi secara vulgar. Pemilu kita seberapa kerasnya, bila dilihat dari tradisi sejarah, tidak pernah sampai pada titik mengkhawatirkan seperti itu. Setiap presiden terpilih maupun mantan presiden, sampai detik ini “aman-aman” saja. Bahkan Soeharto, yang jelas-jelas memiliki “dosa sejarah”, dalam pandangan para politisi, penguasa maupun gerakan oposan, sampai rakyat, tetap memposisikan beliau sebagai mantan pemimpin Indonesia. Seberapa buruk “prestasi”-nya.
Artinya, bila dilihat dari kacamata budaya, Insya Allah bila kita masih memegang teguh, demokrasi ala Indonesia tidak akan pernah mengarah pada perebutan power dan hegemony dalam bentuk “kekerasan paling vulgar”. Budaya Melayu dan Jawa yang dominan dalam alam pikiran atau disebut Pierre Bourdieu sebagai habitus, tetap akan mendudukkan perebutan power dan hegemony yang lebih “lembut”. Model Power dan Hegemony Halus ala budaya Indonesia yang lembut tidak akan pernah bergerak menuju “transisi” dan bersegera menjadi “kekerasan” apabila para pemimpin kita, para penguasa, para politisi, masih juga memiliki pola budaya yang sama dengan rakyatnya. Pola “budaya lembut”.
Pola “budaya lembut” jelas pula berbeda dengan “budaya keras”. Pola budaya lembut selalu mengedepankan “consiousness” dan “awareness” terhadap diri, sosial dan lingkungannya. Artinya, budaya lembut tidak hanya berpikir tentang “consiousness” dan “awareness” dirinya sendiri. Karena pola berpikir tentang dirinya sendiri berakar pada karakter egoistik dan anthroposentris. Ketika hanya diri sendiri sebagai pusat pembuatan kebijakan berbangsa dan bernegara, maka yang terjadi adalah persetujuan, misalnya pada bentuk, (1) perekonomian liberal yang meminggirkan kepentingan ekonomi rakyat, (2) pertanian yang mengedepankan industri besar dan intermediasi pangan yang menggeser peran rakyat, (3) posisi sosial yang strategis berada pada lingkaran kekuasaan dan meminggirkan peran serta demokrasi yang sebenarnya, (4) pemutarbalikan hukum untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan tertentu, (5) penjarahan sumber daya alam besar-besaran oleh alat-alat berat dan modal-modal besar, dan lain sebagainya. Ujung atau dampak “consiousness” dan “awareness” untuk kepentingan diri sendiri adalah, pusat-pusat sosial, ekonomi, politik, dan lainnya hanya dimiliki oleh segelintir orang dan meminggirkan kepentingan besar rakyat. Ujung-ujungnya pula adalah kemarahan lingkungan alam, seperti yang terjadi sekarang, ketika musim hujan banjir dimana-mana, ketika musim kering kebakaran hutan dimana-mana.
Budaya lembut dengan demikian harus mengedepankan “consiousness” dan “awareness” di luar dirinya, yaitu sosial (rakyat) dan lingkungan (alam). Mudahnya, penguasa harus tetap mengedepankan “consiousness” dan “awareness” untuk kepentingan rakyatnya dan alam. Operasionalisasi budaya lembut pengambil kebijakan adalah arif dan mengedepankan agenda “konkrit” untuk kepentingan rakyat yang berhati nurani lengkap, dan bukan ekonomi, sosial, politik rakyat dengan syarat. Misalnya, Ekonomi rakyat ya ekonomi untuk kepentingan rakyat, sedangkan ekonomi liberal harus menjadi marginal, dan bukan sebaliknya.
Mungkin kita perlu belajar banyak dari tradisi luhur kita sendiri, seperti misalnya saja, Poros Imajiner Keraton Yogyakarta. Poros Imajiner melambangkan keseimbangan sosial, ekonomi, politik, budaya dalam trilogi kemanusiaan, yaitu akuntabilitas Tuhan (vertikal), Manusia-Alam (horisontal). Poros Imajiner dilambangkan dengan pembangunan keraton Yogyakarta dalam garus lurus Gunung Merapi, Tugu, dan Laut Selatan. Lurusnya letak diri (keraton) terhadap alam (gunung dan laut), sosial (tugu dan jalan malioboro) merupakan simbol dari kesatuan diri penguasa dengan realitas sosial dan lingkungan. Poros tersebut untuk memberikan pengingat horisontal bagi Sultan ketika berpikir dan melakukan tindakan harus selalu menilik dalam “poros” disertai ketundukan vertikal pada Allah SWT. Bagaimana bentuk lanjutnya? Ya gimana ya… Semoga…Barakallah…
« PERUBAHAN DENGAN EKSTENSI HABITUS PAGE BARU: TEKNOLOGI ISLAMI (ISLAMIC TECHNOLOGY) »
Tindakan
RSS Komentar
Lacak balik
Information
Penulis : ajidedim-->
Tanggal : 29 Desember 2007
Tags : , , , , , , , , , ,
Kategori : Kebudayaan, barat, budaya, budaya keras, budaya lembut, ekonomi, hard culture, imajiner budaya, indonesia, kesultanan, peradaban, politik, poros budaya, sosial, sweet culture, timur
Satu tanggapan ke “BUDAYA LEMBUT INDONESIA: BELAJAR DARI BENAZIR BHUTTO?”
30 12 2007
sikap silap (07:15:37) :
Ratu Dugem dan Playgirl
Secara resmi, Benazir Bhutto dibesarkan dalam keluarga Islam. Ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto adalah Perdana Menteri Pakistan yang tewas digantung oleh Presiden Zia Ul-Haq setelah jenderal ini melancarkan kudeta. Zia sendiri karena sikap politiknya dinilai AS terlalu mengakomodasi kepentingan gerakan Islam, maka CIA membunuhnya lewat suatu operasi rahasia dengan meledakkan pesawat yang ditumpanginya.
Benazir oleh keluarganya di sekolahkan di sebuah yayasan Katholik ala Inggris di Pakistan. Saat usia 16 tahun, Benazir yang tidak mengenakan jilbab disekolahkan ke Radcliffe College di Massachusset, AS. Saat kuliah di Amerika ini, Benazir benar-benar mereguk kebebasan yang tidak bisa dijalaninya di Pakistan. Ia dikenal sebagai seorang gadis yang gemar belanja pakaian yang tengah trendy dan suka bepergian ke pesta-pesta di malam hari dan pulang dengan ditemani pemuda teman kencannya hingga hari beranjak siang.
Dari Amerika, Benazir melanjutkan pendidikannya di Oxford, Inggris, mengambil jurusan Ilmu Hukum dan Politik. Di Inggris gaya hidupnya makin menggila. Benazir termasuk mahasiswa pandai, namun gaya hidupnya juga “meriah”: pesta dugem jalan terus, alkohol dengan setia terus menemani (walau hal ini sempat dibantahnya), juga suka gonta-ganti teman pria. Media Inggris, Dailymail, edisi Jumat (28/12) mengungkapkan sisi gelap kehidupan Benazir dari seorang teman lamanya semasa kuliah di Oxford. Dailymail sendiri menyebut Benazir sebagai “The Oxford Party Girl”.
“Gaya hidup Benazir ketika kuliah di Oxford menjadi parody seorang gadis remaja Muslim, kaya raya, baru melek melihat dunia. Saat dia berpidato dalam kampanye untuk pemilihan Presiden Senat di Oxford, Benazir bahkan mengungkapkan gaya hidupnya yang liberal itu untuk menarik dan mendulang suara dari para pemilih laki-laki, ” demikian Dailymail.
begitulah dunia berita cerita; hanya Alloh yang mengetahui apa yang ada didalam hati dan apa-apa yang disembunyikan.

Tidak ada komentar: